Kamis, 12 Mei 2011

coccus

Staphylococcus aureus Staphylococcus adalah bakteri coccus gram positif, memiliki diameter sekitar 1 μm, yang cenderung muncul bergerombol menyerupai seikat anggur. Nama Staphylococcus berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata staphyle dan kokkos, yang masing-masing berarti ’seikat anggur’ dan ’buah berry’. Kurang lebih terdapat 30 spesies Staphylococcus secara komensal terdapat di kulit dan membran mukosa; beberapa diantaranya dapat bersifat patogen oportunis menyebabkan infeksi pyogenik (Quinn dkk, 2002).
Staphylococcus bersifat anaerobik fakultatif yang dapat tumbuh secara aerobik maupun fermentasi yang menghasilkan asam laktat. Staphylococcus aureus membentuk koloni berwarna kuning yang agak besar pada media yang diperkaya dan bersifat hemolitik pada agar darah. S. aureus dapat tumbuh pada temperatur antara 150 – 450C dan pada NaCl 15%, mampu memfermentasi mannitol, serta mampu memfermentasi glukosa menghasilkan asam laktat (Todar, 2005). Staphylococcus merupakan bakteri non motil, tidak membentuk spora, serta menunjukkan hasil positif pada uji katalase dan oksidase negatif (Quinn dkk, 2002; Todar, 2005).
Uji katalase penting untuk membedakan Streptococcus (katalase negatif) dengan Staphylococcus yang menghasilkan enzim katalase (katalase positif) (Foster, 2004; Todar, 2005). Uji katalase dilakukan dengan menambahkan H2O2 3% ke dalam koloni pada plat agar atau agar miring. Pada kultur yang menunjukkan katalase positif akan terbentuk O2 dan gelembung udara (Todar, 2005).
Staphylococcus aureus dan S. intermedius adalah koagulase positif, sedangkan Staphylococcus yang lain merupakan koagulase negatif (Foster, 2004). Dalam uji koagulase, suspensi Staphylococcus dicampur dengan plasma kelinci baik pada slide maupun di dalam tabung. Fibrinogen pada plasma kelinci diubah menjadi fibrin oleh koagulase. Uji slide mendeteksi adanya bound coagulase atau clumping factor pada permukaan bakteri, reaksi positif ditandai dengan penggumpalan oleh bakteri dalam 1 sampai 2 menit. Uji tabung untuk mendeteksi adanya free coagulase atau staphylocoagulase yang disekresikan oleh bakteri ke dalam plasma. Uji ini merupakan uji definitif terhadap produksi koagulase dan reaksi positif ditandai dengan terbentuknya gumpalan di dalam tabung setelah diinkubasi dalam suhu 370C selama 24 jam (Quinn dkk, 2002). Koagulase merupakan protein ekstraseluler yang mengikat prothrombin hospes dan membentuk komplek yang disebut staphylothrombin. Karakteristik aktifitas protease pada thrombin diaktifasi dalam komplek tersebut, menghasilkan konversi fibrinogen menjadi fibrin. Koagulase merupakan cara sederhana untuk mengidentifikasi S. aureus di laboratorium klinis mikrobiologi (Todar 2005).
Mannitol Salt Agar atau MSA umum digunakan sebagai media pertumbuhan dalam mikrobiologi. MSA mengandung konsentrasi garam NaCl yang tinggi (7,5% – 10%), sehingga membuat MSA menjadi media selektif untuk Micrococcaceae dan Staphylococcus karena tingkat NaCl yang tinggi menghambat bakteri yang lain. MSA juga merupakan media differensial yang mengandung mannitol dan indikator phenol red. Produksi asam sebagai hasil dari fermentasi mannitol, yang merupakan ciri-ciri beberapa spesies seperti Staphylococcus aureus, akan mengubah warna agar yang semula berwarna merah menjadi kuning. Bakteri yang memfermentasi mannitol menghasilkan koloni berwarna kuning sedangkan non fermentasi mannitol akan menghasilkan koloni kemerahan atau ungu (Anonim4, 2007).
S. aureus memiliki beberapa potensi faktor virulensi; protein permukaan yang menyebabkan kolonisasi pada jaringan hospes; invasin yang mengakibatkan bakteri menyebar dalam jaringan (leukocidin, kinase, hyaluronidase); faktor permukaan yang menghambat proses fagositosis (kapsula, Protein A); materi biokemis yang meningkatkan ketahanan bakteri terhadap fagositosis (karotenoid, produksi katalase); penyamaran imunologi (Protein A, koagulase, clotting factor); toksin perusak membran yang melisiskan membran sel eukariotik (hemolisin, leukotoksin, leukocidin); eksotoksin yang merusak jaringan hospes atau menimbulkan gejala penyakit (Superantigen Enterotoksin A-G , Toxic Shock Syndrome Toxin, Exfoliatin Toxin); serta sifat ketahanan bawaan maupun perolehan terhadap agen antimikrobial (Todar, 2005).
Staphylococcus aureus menyebabkan radang suppuratif pada kelinci (Harcourt-Brown, 2002). Abdel-Gwad dkk (2004) menambahkan bentuk septikemia akut sering terjadi pada anak kelinci yang baru lahir dan dapat menimbulkan lesi yang beragam dari sedikit dan nonspesifik hingga suppuratif dan multifokal pada berbagai organ, termasuk pulmo, ren, lien, cor dan hepar. Organisme diisolasi dari bagian yang terinfeksi. Organisme ini juga dapat menyebabkan septicaemia fatal. Seperti P. multocida, kelinci sehat dapat membawa S. aureus dalam cavum nasal, serta dapat diisolasi dari konjungtiva dan kulit kelinci sehat. S. aureus dapat diisolasi dari kasus mastitis, ulserasi pododermatitis, rhinitis, konjungtivitis, dacryocystitis, abses dan infeksi kulit. Sering menjadi infeksi sekunder dalam kerusakan jaringan akibat trauma atau faktor predisposisi lainnya. Tingkat keparahan penyakit tergantung pada ketahanan tubuh hospes dan faktor virulensi bakteri (Delong dan Manning dalam Harcourt-Brown, 2002).
Patogenesis Staphylococcosis pada kelinci telah digambarkan oleh Richard dalam Abdel-Gwad (2004) yaitu Staphylococcus aureus mungkin tinggal dalam sinus nasal atau pulmo dan dapat menyebar melalui kontak langsung atau aerosol. Infeksi melalui luka pada kulit merupakan rute infeksi yang umum dan menimbulkan radang suppuratif pada kulit dan subkutan. Septikemia juga dapat ditimbulkan dari infeksi kulit, dan pada kasus septikemia akut mungkin akan terjadi demam, anoreksia, depresi dan kematian. Septikemia dapat mengakibatkab kematian perakut dengan lesi yang sedikit dan tidak spesifik, akan tetapi apabila kelinci bertahan pada fase ini akan terbentuk abses di beberapa organ dalam seperti cor, ginjal, pulmo, hepar, lien, testes dan persendian mengakibatkan osteomylitis.
Isolasi dan Identifikasi
Pada kondisi suppuratif yang kemungkinan karena infeksi staphylococccus harus diperhatikan dan dikoleksi spesimen yang tepat berupa eksudat untuk prosedur pemeriksaan laboratorik. Pengecatan Gram apus nanah atau spesimen lain yang memungkinkan dapat mengungkap jenis kelompok staphylococcus. Spesimen dikultur pada media agar darah kemudian diinkubasi secara aerobik pada suhu 370C selama 24 sampai 48 jam. Kriteria untuk mengidentifikasi isolat antara lain; karakteristik koloni, ada atau tidaknya kemampuan hemolisa, tidak tumbuh pada agar MacConkey, memproduksi katalase dan koagulase serta profil biokemisnya (Quinn, 2002). Menurut Ajuwape dan Aregbesola (2001), isolat dapat diuji biokemis sesuai metode standar dengan uji gula-gula seperti; glukosa, mannitol, maltosa, laktosa, sukrosa, dulcitol, sorbitol, xylose dan trehalose

daftar pustaka
http://parach-kultur.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar